Pemanenan jagung dilakukan pada saat jagung telah berumur sekitar 100
hst tergantung dari jenis varietas yang digunakan. Jagung yang telah
siap panen atau sering disebut masak fisiologis ditandai dengan daun
jagung/klobot telah kering, berwarna kekuning-kuningan, dan ada tanda
hitam di bagian pangkal tempat melekatnya biji pada tongkol. Panen yang
dilakukan sebelum atau setelah lewat masak fisiologis akan berpengaruh
terhadap kualitas kimia biji jagung karena dapat menyebabkan kadar
protein menurun, namun kadar karbohidratnya cenderung meningkat. Setelah
panen dipisahkan antara jagung yang layak jual dengan jagung yang
busuk, muda dan berjamur selanjutnya dilakukan proses pengeringan.
Permasalahan akan timbul bila waktu panen yang berlangsung pada saat curah hujan masih tinggi, sehingga kadar air biji
cukup tinggi, karena penundaan pengeringan akan menyebabkan penurunan
kualitas hasil biji jagung.
Cara pengeringan selain dengan penjemuran
langsung di ladang, juga dapat dilakukan dalam bentuk tongkol terkupas
yang dikeringkan di lantai jemur dengan pemanasan matahari langsung, dan
bila turun hujan ditutupi dengan terpal plastik.
Cara pengeringan jagung demikian memiliki kelemahan karena mudah
ditumbuhi jamur, serangan hama kumbang bubuk, dan kotoran. Selain itu
nilai kadar air biji jagung biasanya masih tinggi ( >17%).
Penundaan panen selama 7 hari setelah masak fisiologis dapat membantu
proses penurunan kadar air dari 33% menjadi 27%. Namun penundaan
pengeringan dengan cara menumpuk tongkol jagung yang telah dipanen di
atas terpal selama 3–5 hari, meskipun mampu menurunkan kadar air akan
tetapi dapat menyebabkan terjadinya serangan cendawan sampai mencapai
56-68%, sedangkan tanpa penundaan pengeringan, serangan cendawan dapat
ditekan menjadi hanya berkisar antara 9-18%. Penyebab lain terjadinya
kerusakan pada biji jagung adalah karena adanya luka pada saat
pemipilan, dan ini terjadi jika saat pemipilan kadar air biji masih
tinggi (>20%).
Biji yang terluka pada kondisi kadar airnya masih tinggi menyebabkan
mudah terinfeksi oleh cendawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemipilan jagung pada kadar air 15-20% dapat menimbulkan infeksi
cendawan maksimal mencapai 5%. Dengan menggunakan alat dan mesin pemipil
pada kadar air biji jagung 35%, infeksi cendawan mencapai 10-15%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar air biji dan
semakin lama disimpan, peluang terinfeksi cendawan akan lebih besar.
Demikian halnya dengan tingkat serangan hama kumbang bubuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar dan informasi tambahan dari pembaca.
Salam kami : bns_indonesia