TEMPO.CO, Brebes--Komitmen pemerintah memanfaatkan lahan yang terindikasi terlantar untuk pertanian sejak Juli 2012 lalu belum menuai hasil yang memuaskan. Hingga kini, Indonesia masih kesulitan mencapai swasembada kedelai karena keterbatasan lahan.
“Swasembada kedelai memang paling berat di Kementerian Pertanian,” kata Menteri Pertanian Suswono saat berdialog dengan puluhan petani di areal persawahan Desa Sisalam, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Kamis siang, 6 Juni 2013.
Suswono mengatakan, saat harga kedelai masih tinggi, 150 persen lebih mahal dari harga beras, total luas lahan pertanian kedelai di Indonesia mencapai 1,5 juta hektare. Setelah harga kedelai anjlok hingga setara dengan harga beras, luas lahan itu menyusut tinggal 700.000 hektare.
Menteri dari Partai Keadilan Sejahtera itu mengaku sudah berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional untuk menyediakan lahan tambahan sekitar 500.000 hektare. “Tapi sampai sekarang (tambahan lahan itu) belum ada.”
Dari sekitar 7,2 juta hektare yang terindikasi terlantar di Indonesia, baru sekitar 13.000 hektare yang sudah dinyatakan bebas oleh BPN pada Juli 2012. Luas lahan 13.000 hektare itu masih sangat jauh untuk mengimbangi petani kedelai di Amerika.
Selain keterbatasan lahan, swasembada kedelai juga terkendala persaingan harga komoditas lain seperti jagung. Harga jagung pipil kini sekitar Rp 3.000 per kilogram. Jika satu hektare lahan menghasilkan sekitar enam ton jagung pipil, petani bisa mendapat Rp 18 juta.
Alhasil, banyak petani kedelai yang beralih menanam jagung. Sebab, satu hektare lahan hanya mampu menghasilkan sekitar 1,8 ton sampai 3 ton kedelai. Harga kedelai kering sekitar Rp 7.000. “Kondisi ini kian diperparah dengan cuaca yang tidak mendukung,” kata petani kedelai di Desa Sisalam, Idham Kolid, 32 tahun.
Karena hujan tidak kunjung berhenti, Idham mengungkapkan, petani kedelai di Desa Sisalam mengalami gagal panen. Lembabnya cuaca memicu pertumbuhan hama ulat yang menyerang batang tanaman, sehingga satu hektare lahan hanya menghasilkan sekitar satu ton kedelai.
Akibatnya, petani kedelai lebih memilih menjual panennya dengan sistem ijon. Meski keuntungan yang diperoleh lebih kecil, sistem ijon dinilai paling aman daripada menunggu panen tanpa kepastian hasil. “Kami minta pemerintah menstabilkan harga kedelai,” kata Darwinto, petani lain.
Menanggapi hal itu, Suswono mengatakan pemerintah sudah menunjuk Bulog sebagai stabilisator harga kedelai. “Harga kedelai Rp 7.000 per kilogram itu sudah dijamin (stabil).” Ia juga mengimbau petani memanfaatkan kredit ketahanan pangan dan energi yang selama ini masih minim serapannya. (Dinda Leo Listy )
Sumber :
Kemarau Basah, Petani Kedelai Gagal Panen | bisnis | Tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar dan informasi tambahan dari pembaca.
Salam kami : bns_indonesia